PORTAL.ID – Masih lekat dalam ingatan Awaluddin, bagaimana eksplorasi perusahaan pertambangan masuk di desanya pada tahun 2013 silam.
Ia merupakan warga pesisir di Desa Boedingi, Kecamatan Lasolo Kepulauan, Kabupaten Konawe Utara.
Bapak tujuh anak ini menyebut, masuknya tambang bakal lekat dari ingatan karena hal itu merupakan penanda awal bencana kehidupannya.
Pasalnya, sebagai nelayan dirinya bergantung dengan kondisi laut di desanya. Namun, setelah tambang masuk laut tersebut tercemar.
Untuk pertama kali sejak puluhan tahun hidup di kawasan tersebut, dirinya terpaksa harus memutar otak untuk sekedar menyambung hidup.
“Saya kalau ditanya lebih senang sebenarnya tidak ada tambang, lebih ingin kehidupan seperti dulu,” kata Awaluddin, Kamis 21 November 2021.
Ia bercerita, jika dimasa sebelum ada tambang, dirinya bisa meraup minimal Rp 150 ribu pada pagi hari, modal menjual ikan hasil melaut semalam.
Dirinya sendiri mengaku cukup sukses sebagai nelayan dengan memiliki 20 pcs pukat, yang menghasilkan puluhan kilogram ikan dalam semalam.
Namun sayangnya, hidup makmur yang dijalani diriinya dan warga lain tidak bertahan setelah tambang menggempur dan mencemari laut.
Awaluddin sendiri mengaku sempat bertahan dengan kondisi tersebut. Ia memilih mencari ikan di perairan yang cukup jauh.
Namun hal itu tidak bertahan lama, hanya sekitar dua tahun. Ia mengaku tidak bisa bertahan karena mahalnya harga BBM.
Sebabnya, saat mencari ikan di laut sekitar desa, ia hanya butuh maksimal 5 liter bensin. Sedangkan untuk perairan yang jauh butuh 20 liter.
Dengan kondisi serba sulit tersebut, Awaluddin akhirnya terpaksa memilih berhenti melaut untuk selamanya pada tahun 2015.
Ia menanggalkan pukat dan menambatkan perahu yang sudah puluhan tahun menghidupinya, tanpa tahu bagaimana hidup kedepannya lagi.
Diungkapkannya juga, atas desakan kebutuhan ekonomi keluarga, pasca tidak melaut dirinya bekerja sebagai scurity di perusahaan tambang.
Menurutnya, dirinya terpaksa penerima pinangan salah satu perusahaan tambang yang beroperasi di desanya karena desakan kebutuhan ekonomi.
Tidak hanya dirinya, Awaluddin juga menyebut banyak warga di desanya juga yang awalnya sebagai nelayan saat ini bekerja di perusahaan tambang.
Awaluddin sendiri mengaku hanya mampu bekerja selama setahun karena fisik di usianya yang sudah mencapai 70 tahun tidak memadai.
“Jadi terpaksa saya jadi scurity, itu pun karena faktor usia akhirnya hanya bertahan sampai setahun habis itu keluar,” ungkap Awaluddin.
Saat ini, kata Awaluddin, dirinya sudah tidak bekerja apapun, hanya di rumah bersama cucu dan istrinya menghabiskan hari tua.
Beberapa anaknya bekerja di perusahaan tambang di desanya karena sudah tidak mungkin lagi mengikuti jejaknya menjadi nelayan.
Dihari tuanya ini, Awaluddin bersama sejumlah warga di desanya terus menyuarakan berbagai permasalahan di desanya.
Pasalnya, selain merenggut sumber ekonomi warga yang umumnya nelayan, tambang di desanya itu juga mengancam kelestarian sumber air.
“Dulu itu belum rawan, sekarang ini makin lama tanah yang diambil itu makin dekat sumber air, itu yang kita khawatirkan sekarang,” ungkap Awaluddin.
Atas masalah ini sendiri, Awaluddin mengaku bersmaa warga desa lainnya telah berulang kali melaporkan kepada Pemda tapi tidak ada tanggapan.
Tidak hanya itu, bersama warga masalah itu juga telah dilaporkan ke dewan perwakilan rakyat daerah baik di kabupaten maupun di provinsi tapi tidak ada tanggapan.
“Sudah pernah di bikin pertemuan juga dengan warga dengan orang Pemda, tapi sampe sekarang tidak ada hasil nya,” kata Awaluddin.
Mengadu Via Aplikasi LAPOR.
Awaluddin menceritakan, karena tidak kunjung ditanggapi oleh pemerintah daerah, saat ini pihaknya memanfaatkan aplikasi LAPOR.
Aplikasi tersebut dijadikan alternatif untuk sarana menyampaikan aspirasi warga tentang berbagai permasalahan di desa.
“Sudah mau tiga bulan ini saya pake ini aplikasi, jadi kita diajar caranya kirim laporan, pokoknya setiap hari kita bikin laporan,” ungkap Awaluddin.
Dirinya berharap dengan aplikasi ini segenap laporan yang masuk bisa direspon, agar bisa berjalan baik antara pemerintah, warga dengan perusahaan.
“Sejujurnya kita tidak menolak tambang, karena sudah terjadi makanya yang penting sekarang bagaimana jangan lagi ada kerugian masyarakat,” ujarnya.
Penggunaan aplikasi LAPOR bagi warga desa tersebut merupakan bagian dari program kerja yang dilaksanakan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pedalaman (LEPMIL).
Direktur LEPMIL, Solihin menjelaskan pengenalan aplikasi LAPOR ini merupakan program untuk mendorong transparansi dalam industri ekstraktif di Sultra.
Program yang didanai Bank Dunia ini merupakan program nasional yang dilaksanakan di tiga provinsi yakni Aceh, Sultra, dan Kaltim.
“Untuk di Aceh itu isulnya soal tambang Batubara, di Kaltim juga dan di Sultra itu tambang nikel,” terang Solihin.
Sedangkan untuk di Sultra, program tersebut dilaksanakan tiga desa di Kabupaten Konawe Utara, yakni Bornaga, Boedingi dan Tapunapaka.
Menurutnya, pengenalan aplikasi LAPOR ini adalah bagian dari gagasan untuk meningkatkan peran masyarakat khususnya di kawasan lingkar tambang.
Peran tersebut diperlukan untuk turut membangun tata kelola bisnis ekstraktif agar masyarakat tidak hanya menjadi objek kebijakan.
Pasalnya, dengan kondisi masyarakat yang kini memprihatinkan akibat ekspansi tambang, namun tidak ada laporan satu pun.
“Jadi ini baru kami ketahui bahwa tidak ada laporan satu pun tentang kondisi mereka baik kepada dewan, main Pemda atau aparat hukum,” tegas Solihin.
Malah parahnya, jika ada gerakan yang sifatnya konfrontatif dengan perusahaan maka masyarakat diancam kriminalisasi.
Untuk itu, lanjut Solihin, kami mendorong minimal kanal yang sudah disiapkan oleh negara itu bisa diketahui masyarakat.
“Jadi kita tidak hanya mendorong masyarakat agar tahu tapi juga agar bisa memanfaatkan kanal-kanal tersebut, salah satunya kanal LAPOR,” ungkap Solihin.
Aplikasi LAPOR antara Harapan dan Kenyataan
Solihin menjelaskan, masyarakat di desan binaan LEPMIL cukup antusias untuk menyatakan aspirasinya melalui kanal LAPOR.
Menurutnya, masyarakat melihat cara melaporkan via kanal LAPOR merupakan hak baru, sehingga antusiasme masih tingggi.
Bahkan, sejauh ini masyarakat masih berharap agar setiap laporan yang dikirimkan warga kelak akan ditanggapi oleh yang berwenang.
Namun sayangnya antusiasme masyarakat untuk memanfaatkan kanal tersebut tidak dibarengi dengan respon yang baik dari pengelola.
“Kami mengajarkan masyarakat untuk menggunakan kanal itu sejak tiga bulan lalu, jadi sejak itu laporan sudah masuk tapi sampai sekarang belum ada tanggapan,” ungkap Solihin.
Pihaknya sendiri telah menjembatani pertemuan antara masyarakat dan pengelola kanal LAPOR untuk membahas kendala dalam merespon laporan.
Pertemuan yang dilaksanakan secara daring ini menghadirkan Ombudsman, KemenPAN RB selaku pengelola dan sejumlah instansi berwenang.
Untuk alasan yang diungkapkan pengelola, diantaranya akibat maintenance sistem pelaporan dan kesalahan dalam penulisan.
Solihin sendiri menyebut, alasan pengelola terkesan dibuat-buat karena masyarakat telah dilatih secara baik untuk menggunakan kanal tersebut.
Kondisi tersebut membuktikan tidak ada keseriusan pemerintah dalam mendong good mining practice atau tata kelola pertambangan yang baik.
“Saya sendiri berkesimpulan, baik pemerintah maupun swasta belum mau membuka diri untuk mencari format ideal dalam untuk mencapai good mining practice,” pungkasnya. /P:02