Oleh Dra Nurnianah
BPS dan UNICEF untuk menganalisis data perkawinan anak di Indonesia. Edisi 2020 ini dibuat untuk memperbaharui informasi mengenai data perkawinan anak dan faktor-faktor atau karakteristik sosial ekonomi yang berhu- bungan dengan isu tersebut seperti pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial dan pekerjaan. Pada tahun 2018, 1 dari 9 anak perempuan menikah di Indonesia. Perempuan umur 20-24 tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun di tahun 2018 diperkirakan mencapai sekitar 1.220.900 dan angka ini menempatkan Indonesia pada 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia.
Analisis data perkawinan anak melihat perempuan umur 20-24 tahun yang menikah sebelum mereka berusia 15 dan 18 tahun dan juga perkawinan anak laki-laki. Data untuk anak laki-laki belum dapat menunjukkan tren karena data yang tersedia hanya empat tahun dari tahun 2015 sampai 2018. Hal ini sesuai dengan indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) dan berbeda dengan laporan sebelumnya yang memakai indikator perempuan sudah menikah yang berusia 20-24 tahun.
Dalam sepuluh (10) tahun terakhir, hanya ada penurunan kecil untuk perkawinan anak di Indonesia yaitu 3,5 poin persen. Pada Oktober 2019, Pemerintah Indonesia mensahkan Undang-Undang nomor 16 tahun 2019 yang merupakan perubahan atas UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Di tahun 2018, 11,21 persen perempuan 20-24 tahun menikah sebelum mereka berumur 18 tahun. Pada 20 provinsi prevalensi perkawinan anak masih ada di atas rata-rata nasional.
Provinsi dengan prevalensi perkawinan anak tertinggi adalah Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Ada lebih dari 1 juta anak perempuan yang menikah pada usia anak. Menurut angka absolut kejadian perkawinan usia anaknya, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah 3 provinsi yang paling tinggi.
Dalam 10 tahun, prevalensi perkawinan anak di daerah perdesaan menurun sebanyak 5,76 poin persen, sementara prevalensi di daerah perkotaan hanya menurun kurang dari 1 poin persen. Perkawinan anak berhubungan dengan berbagai faktor yang dapat bersifat struktural maupun yang berasal dari komunitas, keluarga, maupun kapasitas individual.
Temuan dari Susenas dan studi literatur memperlihatkan bahwa anak yang lebih rentan terhadap perkawinan anak adalah anak perempuan, anak yang tinggal di keluarga miskin, di perdesaan, dan memiliki pendidikan rendah. Pekerja perempuan usia 18 tahun ke bawah lebih mungkin untuk bekerja di sektor informal dan karenanya menjadi lebih rentan apabila dibandingkan dengan perempuan dalam kelompok umur yang sama yang menikah setelah 18
tahun dan bekerja.
Laporan ini memperlihatkan kemiskinan bukan satu-satunya faktor pendorong terjadinya perkawinan anak. Apabila dihubungkan dengan persentase penduduk miskin, perkawinan anak terjadi di provinsi-provinsi dengan penduduk miskin yang tinggi maupun cukup rendah. Perkawinan anak juga berhubungan dengan kesehatan.
Persentase perempuan usia 20-24 tahun yang menikah pada usia 18 tahun ke atas yang melakukan inisiasi menyusui dini mencapai 28,76 persen, jauh berbeda dengan mereka yang menikah sebelum usia 18 tahun yaitu hanya sebesar 18,83 persen. Selain itu, persentasi perempuan umur 20-24 tahun yang menikah pada usia 18 tahun ke atas dan melahirkan di faskes/nakes angkanya paling tinggi yaitu mencapai 34,13 persen, berbeda 12 poin persen dengan yang menikah sebelum usia 18 tahun yaitu hanya 22,13 persen.
Kasus pernikahan usia dini banyak terjadi di berbagai penjuru dunia dengan berbagai latarbelakang. Telah menjadi perhatian komunitas internasional mengingat risiko yang timbul akibat pernikahan yang dipaksakan, hubungan seksual pada usia dini, kehamilan pada usia muda, dan infeksi penyakit menular seksual.
Kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor penting yang berperan dalam pernikahan usia dini. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu risiko komplikasi yang terjadi di saat kehamilan dan saat persalinan pada usia muda, sehingga berperan meningkatkan angka kematian ibu dan bayi. Selain itu, pernikahan di usia dini juga dapat menyebabkan gangguan perkembangan kepribadian dan menempatkan anak yang dilahirkan berisiko terhadap kejadian kekerasan dan keterlantaran.
Masalah pernikahan usia dini ini merupakan kegagalan dalam perlindungan hak anak. Dengan demikian diharapkan semua pihak termasuk dokter anak, akan meningkatkan kepedulian dalam menghentikan praktek pernikahan usia dini. Beberapa permasalahan dalam pernikahan anak meliputi faktor yang mendorong maraknya pernikahan anak, pengaruhnya terhadap pendidikan, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dampak terhadap kesehatan reproduksi, anak yang dilahirkan dan kesehatan psikologi anak, serta tinjauan hukum terkait dengan pernikahan
anak.
(Penulis adalah ASN Lingkup BKKBN Perwakilan Sultra dengan jabatan fungsional/TMT adalah Penyuluh Keluarga Berencana Ahli Muda)