Portal.id, KENDARI – Matahari hampir tenggelam, menyisakan cahaya jingga memantul di langit sisi barat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Mataiwoi, Kelurahan Mataiwoi, Kecamatan Tongauna, Kabupaten Konawe, medio Maret 2025 lalu.
Diantara senja yang merayap pelan menuju sore, Bode masih berjibaku dengan botol plastik bekas pakai, yang dimasukkannya ke dalam karung. Tangan ringkihnya menjejalkan ratusan botol itu satu per satu.
Perlahan tapi pasti, karung berbahan plastik bermotif dua garis biru tebal yang awalnya kosong kini nyaris terisi penuh. Tangan nenek berusia lebih setengah abad ini juga telah nampak bergetar karena lelah bekerja.
Tapi ia seakan tidak ingin berhenti dari aktivitas yang telah 20 tahun digelutinya ini, hingga karung benar-benar terisi penuh. Semakin sore, tangannya semakin cepat bekerja, nafasnya juga terengah-engah.
“Sa buru-buru ini kerja. Soalnya mataku tidak bisa jelas melihat kalo sudah terlalu sore,” ungkap Bode, sembari mengikat karung yang sudah penuh, lalu menyeret dan menjejerkan dengan tiga karung lainnya.
Bode bisa memulung 100 sampai 200 botol dan gelas plastik, dalam sehari. Bisa juga lebih sedikit dari itu. Botol atau gelas bekas minuman ringan bening, atau berwarna paling banyak dipungut.
Dua kali seminggu mobil bak terbuka milik orang yang dipanggilnya ‘bos’ datang mengambil karung penuh sampah plastik milik Bode dan puluhan pemulung lainnya. Jumlah antara 100 – 150 karung.
Sekali menimbang, Bode mendapatkan uang Rp 300 – 400 ribu, dari tiga sampai enam karung sampah yang bisa dikumpulkan selama 14 hari kerja. Usai karungnya ditimbang, Ia dibayar di tempat.
“Kalau yang muda-muda itu satu bulan hasilnya dari dua kali menimbang bisa dapat dua juta lebih. Kalo saya ini maa paling satu juta saja,” kata Bode, yang hari itu berkaos panjang dan jilbab warna pink, serta bertopi kerucut ala petani.

Nasib pemulung seperti Bode dan puluhan sejawatnya di TPA Mataiwoi sepenuhnya bergantung pada kebaikan ‘bos’—sebutan untuk pengepul yang membeli hasil jerih payah mereka.
Mirisnya, seperti tengkulak bos ini sering menetapkan harga beli kelewat rendah, tanpa standar yang jelas dan berubah-ubah. Tak heran, meski setengah lebih usianya telah dihabiskan untuk aktifitas ini, Bode mengaku masih belum sejahtera.
Seperti dirinya, banyak pemulung terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang nyaris tak berujung. Bahkan kerap diwariskan ke anak cucu mereka, karena tidak memiliki alternatif sumber penghasilan lain.
Padahal pemulung memainkan peran penting dalam pengelolaan sampah. Mereka membantu mengalihkan puluhan hingga ratusan ton sampah dari TPA ke industri daur ulang dalam rantai nilai sampah nasional.
Tanpa kontribusi mereka, sistem pembuangan sampah secara open dumping akan membuat TPA cepat kolaps. Termasuk di TPA Mataiwoi yang menerima kiriman sampah 108 ton per hari.