Revenue baru dari sampah
Hasil kajian analisis potensi Off-taker RDF program ERiC-DKTI menghitung, fasilitas pengolahan sampah berkapasitas 30 ton per hari berpotensi menghasilkan RDF 12 ton per hari, atau 2,5 ton sampah untuk 1 ton RDF.
Mengacu perhitungan itu, jika disubstitusikan dengan data SIPSN KLHK tingkat Provinsi Sultra dengan volume timbulan sampah harian mencapai 1000 ton lebih, maka itu bisa menghasilkan 400 ton RDF per hari.
Dari sisi bisnis, jika mengacu harga di RDF Rorotan – Jakarta sebesar Rp 376.080 hingga Rp 689.480 per ton, maka potensi RDF di Sultra sebesar 400 ton per hari menghasilkan Rp 150 juta lebih hingga Rp 275 juta per hari.
Sementara itu dari sisi manajemen dan tata kelola, TPST Kedungrandu yang berada di Desa Kedungrandu, Kecamatan Patikraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah bisa dijadikan percontohan.
TPST Kedungrandu sendiri tidak dikelola Pemda, melainkan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Randu Makmur, dan berbadan hukum usaha berbentuk koperasi, yang salah satunya berbisnis RDF.
Di tempat ini, setiap hari 40 pekerja TPST yang seluruhnya merupakan mantan pemulung di eks TPA Gunung Tugel memilah 15 ton sampah dari rumah tangga, restoran, pasar, dan objek wisata sekitar Banyumas.
Disini sampah dipisah tiga bagian, jenis high value seperti barang rongsok, organik dari sampah sisa makanan dan anorganik atau low value umumnya sampah plastik. Pemilahan ini sesuai nilai pasarnya.
Untuk jenis rongsok dikumpul untuk dijual langsung ke pengepul, sementara sampah organik biasanya sebanyak 5-6 ton dijadikan bubur untuk pakan maggot, pupuk organik, media tanam.
Sisa bahan organik lain yang biasanya berupa tebangan kayu, ranting pepohonan, dan limbah kayu yang bisa mencapai 4 ton diserap untuk produksi bahan bakar jumputan padat (BBJP).
Sementara jenis low value yang berupa sampah plastik, diolah menjadi paving block dan genteng plastik, serta RDF. Dalam sehari, tempat pengolahan ini bisa memproduksi 1 ton RDF atau sekitar 25 ton per bulan.
Hasil produksi RDF itu dijual ke PT Solusi Bangun Indonesia (SBI) Tbk yang merupakan anak usaha PT Semen Indonesia. Untuk BBJP dijadikan co-firing di PLTU Adipala Kabupaten Cilacap.
Dari bisnis pengolahan sampah ini, TPST Kedungrandu meraup omset hingga Rp140 juta per bulan. Dari omset ini pekerja bisa diupah sesuai UMK Banyumas yakni Rp 2.100.000 per bulan.
Kritikan untuk Co-Firing
Kendati bisa menyelesaikan berbagai masalah dan juga menghasilkan revenue yang membuat ludah menetes, co-firing ini sebenarnya menuai banyak kritikan dan tidak seindah kata-kata para pejabat.
Sejak awal dicetuskan, keberhasilan program co-firing berbasis sampah atau biomassa saat ini masih sebatas klaim versi PLN. Salah satunya soal keberhasilan berhasil menekan emisi karbon 921.119 Ton CO2 di tahun 2024.
Capaian ini disebut dari pemanfaatan biomassa yang mengurangi secara signifikan penggunaan batubara di PLTU dalam program co-firing, dan diklaim bisa menghasilkan green energy sebesar 814 GWh.
“Sepanjang 2024 PLN IP sukses memanfaatkan 793.060 ton biomassa dari pellet kayu, sampah, cangkang sawit, serbuk gergaji, sekam padi hingga limbah racik uang kertas,” ungkap Direktur Utama PLN Indonesia Power Edwin Nugraha Putra dalam keterangan resminya akhir Januari 2025 lalu.
Klaim ini sendiri berbanding terbalik dengan hasil riset Trend Asia yang mengungkap bahwa program co-firing di 52 PLTU yang melibatkan penggunaan biomassa, berpotensi menghasilkan emisi hingga 26,48 juta ton setara CO2e.
Emisi ini muncul dari deforestasi, pengelolaan HTE hingga produksi pelet kayu. Karena bahan bakar berasal dari biomassa pohon, co-firing PLTU batu bara menimbulkan deforestasi 2,33 juta hektare.
Alih-alih berkurang, pencampuran biomassa-batubara juga malah menambah emisi dari PLTU, yang dalam RUPTL 2021-2030 diproyeksikan terus naik menjadi 298,9 juta ton CO2e pada 2030.
Co-firing biomassa juga menghasilkan emisi PM10 yang juga buruk bagi kesehatan karena partikelnya berukuran besar. Emisi NO2 dan PM10 yang dihasilkan justru lebih destruktif, terutama ketika menggunakan kayu basah.
Temuan ini juga sesuai dengan hasil kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) terkait ‘Manfaat Kesehatan dari Transisi Energi Berkeadilan dan Penghentian Bertahap Batubara di Indonesia’.