Disebutkan, porsi co-firing hingga minimal 20 % pada semua pembangkit listrik PLN hanya akan mengurangi emisi polutan udara dari pembangkit listrik batubara di Indonesia sebesar 1,5 – 2,4 %.
Pemodelan terperinci dari kualitas udara dan dampak kesehatan mengindikasikan bahwa emisi polutan udara yang dihasilkan pembangkit listrik batubara di Indonesia pada tahun 2022 turut bertanggung jawab atas 10.500 kematian akibat polusi udara dan biaya kesehatan sebesar Rp109,9 triliun.
Kajian tersebut juga memproyeksikan dampak kesehatan kumulatif dari tahun 2024 hingga berakhirnya masa operasi semua pembangkit listrik batubara akan mengakibatkan 303.000 kematian terkait polusi udara dan biaya kesehatan sebesar Rp3,2 kuadriliun.
“Penerapan co-firing biomassa tidak akan mengurangi emisi GRK secara substansial jika batubara tetap menjadi sumber bahan bakar utama armada pembangkit listrik tenaga batubara Indonesia,” tulis CREA dalam laporannya tersebut.

Kajian itu sinkron dengan temuan lapangan Walhi Jawa Barat dalam pemantauan kualitas udara di dua PLTU yaitu PLTU I Indramayu dan PLTU Pelabuhan Ratu yang telah menerapkan co-firing biomassa.
Terungkap adanya trend peningkatan pencemaran udara dari aktivitas cerobong di dua PLTU semakin kuat dan pekat. Situasi itu memperburuk kualitas udara, dan berkontribusi buruk terhadap gangguan kesehatan warga.
Berdasarkan temuan negatif dan kajian terkait co-firing di berbagai daerah tersebut, Walhi Sultra sendiri secara tegas menolak rencana penerapan program serupa di PLTU Nii Tanasa, Kabupaten Konawe.
Direktur Walhi Sultra, Andi Rahman saat dimintai tanggapan terkait hal ini menegaskan, co-firing merupakan program ‘tipu-tipu’ yang keberhasilannya diklaim PLN tanpa didukung hasil kajian yang jelas.
“Program co-firing ini setauku hanya tipu-tipu,” tegas Andi Rahman dalam sarasehan akademi jurnalis ekonomi dan lingkungan (AJEL) bersama CSO dan Akademisi yang digelar AJI Kendari, Rabu 26 Maret 2025 lalu.
Pemerintah gembar-gembor mengklaim program co-firing melalui produksi RDF dan BBJP tidak hanya memberikan pendapatan bagi daerah, tapi juga mengangkat kualitas hidup para pemulung lewat pemberdayaan dan pengupahan yang layak, dan berkeadilan.
Namun pertanyaannya sekarang, apa dampak ekonominya sepadan dengan dampak lingkungan terutama kesehatan masyarakat? Pertanyaan ini harus dijawab. Jangan cuma ditanya pada rumput yang bergoyang.
Laporan Taufik Qurrahman