Jakarta, Portal.id – Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) menyebutkan bahwa kenaikan harga beras yang terjadi sejak Agustus 2022 disebabkan oleh banyak faktor mulai dari produksi beras yang menurun, kenaikan harga BBM, hingga kelangkaan pasokan pupuk.
“Beberapa faktor yang diyakini mempengaruhi kenaikan harga beras adalah produksi beras menurun di bulan tertentu, implikasi kenaikan harga BBM, efek samping kebijakan bansos (free market), kebijakan fleksibilitas harga gabah dan beras ditingkat petani hingga langkanya pasokan impor pupuk akibat perang Rusia-Ukraina,” kata Ketua Pataka, Ali Usman di Jakarta, Rabu
Sementara itu, Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Badan Pangan Nasional Rachmi Widiriani mengatakan pemerintah menargetkan stok beras Bulog mencapai 1,2 juta ton pada akhir tahun 2022. Dia menyebut pembelian beras di musim gadu seperti saat ini memerlukan upaya lebih lantaran produksi yang menurun.
Di musim gadu atau penanaman pada musim kemarau, produksi gabah atau beras rendah tetapi kualitasnya lebih bagus. “Karena berada pada musim panas sehingga kualitas gabah atau beras yang dihasilkan lebih baik dibanding periode sebelumnya,” katanya
Rachmi menyampaikan, harga GKP (gabah kering panen) di tingkat petani mengalami kenaikan sebesar 13,5 persen, harga GKG (gabah kering giling) meningkat 9,2 persen, dan harga beras meningkat 4,2 persen dari Rp10.700 di bulan Juli 2022 menjadi Rp11.090/kg di tingkat konsumen.
Dia menyebut kebijakan fleksibilitas harga gabah dan beras telah dicabut sejak 17 Oktober 2022. Hasil evaluasi, kata Rachmi, fleksibilitas mendorong kenaikan harga beras, namun memberi kesempatan kepada petani untuk meningkatkan kualitas gabah sehingga dapat menikmati harga gabah terbaik dari Bulog.
Koordinator Evaluasi dan Pelaporan, Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan (PPHTP) Kementerian Pertanian Batara Siagian mengatakan, biaya usaha tani meningkat signifikan terutama karena kenaikan BBM dan harga pupuk.
“Jadi HPP petani mengarah Rp15 juta per hektar. Sedangkan banyak petani memiliki lahan di bawah 1 hektar,” kata dia.
Dia mensimulasikan ketika petani menghasilkan 5 ton per hektar dengan harga GKG Rp5.000/kg sehingga pendapatan petani hanya Rp25 juta per hektar. Selanjutnya pendapatan bersih sekitar Rp10 juta dibagi masa tanam selama empat bulan sehingga pendapatannya hanya Rp2 juta per bulan.