Bisnis

Serapan Bulog Rendah, Petani di Koltim Dibayangi “Bencana” Gabah Murah

×

Serapan Bulog Rendah, Petani di Koltim Dibayangi “Bencana” Gabah Murah

Sebarkan artikel ini
Beras di Gudang Bulog Divre Sultra. Foto: Fito

PORTAL.ID – Kendari: Bencana ekonomi medio tahun 2021 masih lekat di memori petani sawah di Kabupaten Kolaka Timur (Koltim).

Memori itu merekam jatuhnya harga gabah ke titik terendah yang bahkan tidak pernah diperkirakam sebelumnya.

Betapa tidak, dari harga Rp 4000 Per Kilogram, hasil panen petani hanya dihargai Rp 3000 per Kilogramnya.

Musim panen Mei – Juni 2021 yang biasa disambut uforia, malah jadi duka. Hasil panen melimpah, tapi berharga sangat murah.

Petani yang seharinya memegang pacul pun sampai mengangkat megaphone menyuarakan nasibya di gedung dewan.

Sejumlah poin Rapat Dengar Pendapat (RDP) telah disepakati. Namun minimnya apikasi, membuat nasib petani masih kelam hingga kini.

“Sampai saat ini petani masih dibayangi kemungkinan harga jatuh kembali,” kata Ketua Komunitas Petani Koltim, Tafsirul Anam, Kamis malam, 14 Oktober 2021.

Penyebabnya, kata Tafsir, organisasi perangkat daerah (OPD) Pemda Koltim tidak fokus dalam memperjuangkan nasib petani.

Dengan tidak adanya solusi jangka panjang dari pemerintah, para petani kembali bisa jadi bulan-bulanan mekanisme pasar.

“Ada dugaan monopoli harga dari industri pengilingan di Kolaka Timur,” tegas Tafsir, yang kini aktif mendampingi para petani.

Tidak hanya di Koltim, kondisi tersebut disinyalir juga terjadi di sejumlah daerah lainnya di Sulawesi Tenggara (Sultra).

Sebagai daerah yang digadang-gadang jadi pusat produksi beras nasional, nasib petani sawah justru kian susah.

Hitung-hitungan sederhana yang diterima PORTAL.ID dari petani di Koltim menyebut, berat umum raihan petani per karung 105 Kg.

Dari jumlah itu asumsi pendapatan petani per karung hanya sebesar Rp 250.800, dengan harga jual Rp 3200 per Kilogram.

Sementara itu, jika rata-rata petani mendapat hasil 60 karung per hektar, akan mendapat Rp. 2.508.000 per bulan (untuk sawah milik sendiri).

Besaran pendapatan petani tersebut belum termasuk potongan biaya pengolahan, akomodasi dan konsumsi selama mengolah sawah.

Rastra Dihapus, Nasib Baik Petani Ikut Pupus

Ditilik jauh kebelakang, nasib kusut para petani di Koltim itu, salah satunya imbas dihapusnya program Beras Sejahtera (Rastra) pada Mei 2019.

Rastra dihapus Kementerian Sosial karena ingin mengubah skema penyaluran bantuan social (Bansos) menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

Akibat penghapusan ini, Badan Urusan Logistik (Bulog) kesulitan dalam penyaluran beras dari gudang ke masyarakat.

Hal itu berdampak pada rendahnya penyerapan hasil panen petani, karena simpanan stok beras di Gudang Bulog masih menumpuk.

Petani yang menyandarkan harga jual gabah pada harga beli Bulog akhirnya kehilangan acuan, dan menjadi korban industri besar.

Sialnya, industri bekerja dengan mekanisme pasar yang dinilai kurang menghargai kerja keras dan nasib petani.

Para cukong gabah umumnya berpegang pada hukum ekonomi, dimana barang melimpah, maka harga bisa ditekan ke titik terendah.

Kepala Bulog Divre Sultra, Ermin Tora saat ditemui PORTAL.ID, membenarkan kondisi akibat dihapusnya program Rastra tersebut.

Menurutnya, program Rastra punya andil hingga 90 persen dalam penyaluran (baca: pengurangan) beras dari Gudang Bulog.

“Karena Rastranya sudah dihilangkan dari Bulog, jadi bisa dibayangkan 90 persen dari outlet penjualan kita ada disitu (program Rastra) terus sekarang dihapus,” ungkap Ermin.

Mensos yang meneken penghapusan Rastra di kantornya di Jakarta, tentu tidak menyangka kebijakanya itu berdampak bagi petani di daerah.

Dampaknya, bahkan hingga ke Koltim, daerah yang jaraknya 2.497 Kilo meter dari Ibu Kota Negara tempat Kantor Mensos berada.

Penyaluran Rendah, Kualitas Stok Beras di Gudang Bulog Terancam

Tidak hanya menimbulkan dampak bagi petani, penghapusan program Rastra juga berdampak bagi Bulog.

Pasalnya, dihapusnya program tersebut secara tidak langsung mengancam kualitas simpanan stok beras di Gudang Bulog.

Dengan rendah serapan maka hal tersebut berpotensi membuat beras menjadi lebih lama tersimpan di Gudang Bulog.

Ermin Tora mengungkapkan, pihaknya sebelumnya memiliki mekanisme yang disebut Minimum Stock Requirement (MSR).

Mekanisme MSR mengatur untuk tiga bulan penyaluran beras dari Gudang Bulog secara rutin, diantaranya untuk program Rastra.

“Dengan mekanisme ini, beras yang masuk tiga bulan kemudian akan terganti lagi dengan beras baru,” ungkap Ermin.

Saat ini, kata Ermin, dengan tidak ada lagi penyaluran tetap, maka MSR tidak lagi tiga bulan, melainkan lebih 10 bulan.

“Untuk stok yang ada saat ini, tanpa kami menyerap dari petani, stok yang ada cukup untuk 10 bulan,” jelas Ermin.

Bahkan, ungkap Ermin, dibeberapa tempat stok beras sejak tahun 2019 atau sejak dua tahun lalu masih tersimpan di Gudang Bulog.

Meski tidak mengungkap detail tempat dimaksud, namun fakta bertambah lamanya beras terimpan di gudang adalah ancaman serius bagi kualitas beras.

“Beras yang disimpan terlalu lama jelas akan berdampak pada kualitas, sedangkan masalah kualitas ini akan berdampak pada komplain masyarakat,” terang Ermin.

Dari data yang dihimpun PORTAL.ID, penyaluran beras di Bulog Sultra sebelum penghapusan Rastra ada diangka ribuan ton per bulan.

“Sekarang penyaluran rata-rata per bulan diangka 700 ton. Tapi kami perkiraan di Oktober dan November hanya 400 – 500 ton karena bertepatan musim panen,” jelas Ermin.

Untuk penyalurannya sendiri, kata Ermin, pasca penghapusan Rastra, kini seharinya pihaknya bergantung pada unit usaha di sektor swasta.

“Itu pun dengan angka penyaluran yang sangat kecil, dan periodenya tidak menentu,” papar Ermin.

Pemda Diharap Bisa Berinisiatif Menciptakan Outlet Penyaluran Beras Bulog

Ermin menceritakan, bencana jatuhnya harga gabah milik petani di Koltim secara tidak langsung merupakan dampak dari telah penuhnya Gudang Bulog.

“Pada saat Gudang Bulog di Koltim belum penuh dan masih melakukan penyerapan, harga gabah tidak jatuh, karena harga gabah petani dibeli dengan acuan Bulog,” ungkap Ermin.

Saat itu penggilingan padi yang menjadi mitra Bulog, masih membeli gabah petani dengan harga antara Rp 4000 – Rp 4300 per Kg.

“Dengan membeli diharga Rp 4000 mitra penggilingan padi tidak rugi, karena masih ada harapan berasnya bakal dibeli Bulog dengan harga acuan Rp 8300 Per Kg,” ujar Ermin.

Namun, saat Gudang Bulog di Koltim penuh pasca panen periode Mei- Juni 2021, mekanisme harga acuan Bulog seketika tidak berlaku.

“Pada saat acuan ini tidak ada lagi karena Gudang penuh, kira-kira akan terbentuk seperti apa harga di petani, pasti jatuh,” ungkap Ermin.

Menurutnya, untuk mencegah kondisi tersebut terus terulang, pihanya terlah berulang kali meminta Pemda agar mendukung penyaluran beras.

Dukungan tersebut salah satunya bisa dilakukan Pemda, dengan berinisiatif menciptakan program penyaluran, misalnya, melalui program beras untuk ASN, atau bantuan Sembako.

“Itu yang berulang kali kami sampaikan kepada pemerintah, agar tugas kami dalam menyerap hasil panen petani diimbangi dengan penyaluran yang memadai,” ujar Ermin.

Ditegaskannya, jika Pemda memberikan ruang bagi Bulog untuk menyalurkan beras, maka dampak multi efeknya akan sampai ke petani.

“Itu akan sangat membantu berkurangnya stok di gudang, sehingga Bulog bisa membeli beras dengan harga acuan, yang bisa berdampak kepada kesejahteraan petani,” pungkasnya.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan ikuti WhatsApp channel portal.id