Sulawesi Tenggara

“Kita Sudah Maafkan Mereka yang Merusak Rumah Kami. Tapi Pesan Ayah, Jangan Pernah Tinggalkan Sultra…..”

×

“Kita Sudah Maafkan Mereka yang Merusak Rumah Kami. Tapi Pesan Ayah, Jangan Pernah Tinggalkan Sultra…..”

Sebarkan artikel ini
Para perempuan dan ibu-ibu Jamaah Ahmadiyah saat mengikuti pengajian di salah satu masjid di Kota Kendari
Para perempuan dan ibu-ibu Jamaah Ahmadiyah saat mengikuti pengajian di salah satu masjid di Kota Kendari. Foto : IST

Portal.id, Kendari – Seorang ibu menyambut saya disebuah kios, Rabu siang, 8 Januari 2024 lalu. Dialah Zakiatus Sidiqah (34),seorang ibu rumah tangga anggota Jamaah Ahmadiyah di Kota Kendari.

Kios yang menjadi titik temu tersebut adalah milik ibunya, Nurhayati (50) juga anggota Jamaah Ahmadiyah, yang sama-sama datang ke kota ini 21 tahun silam tepatnya di tahun 2003.

Zakiyah dan Ibunya adalah penyintaspenyerangan Jamaah Ahmadiyah di Desa Pancor, Kecamatan Selong, Kabupaten LombokTimur, NTB, pada tahun 2002 silam. Setahun kemudian, Ia bersama Ibu, ayah sertakakak dan adiknya hijrah ke Kota Kendari, Sultra.

Laporan Komnas HAM menyebut, penyerangan Jamaah Ahmadiyah di tahun 2002 itu sebagai tragedi kemanusiaan terparah yang dialami pengikut Mirza Gulam Ahmad di Indonesia.

Rabu siang itu, Zakia mengajak untuk ngobrol di rumahnya.Sekitar 50 meter dari kios milik ibunya. Keduatempat ini dipisahkan jalan setapak, dengan kolam ikan ukuran kecil disekelilingnya.

Zakia tinggal di sebuah rumah petak berbahan kayu yang dibangun memanjang ke samping, di Kelurahan Baruga, Kecamatan Baruga, Kota Kendari, Sultra, tak jauh dari Terminal Baruga.

Rumahnya berukuran sedang, dengan tiga kamar, satu dapur dan ruang tengah yang memanjang menyatu ruang tamu. Bangunan ini beratap seng yang sudah kecoklatan, menandakan usianya yang cukuplama.

Aneka pohon buah yang telah membesar, seperti mangga, rambutan dan masih banyak lagi merindangi depan rumah. Dahan dan daunnya melebar meneduhi bangunan tempat jemuran baju, dan halaman seluas lapangan bulu tangkis.

Di rumah yang dicat hijau tipis, dan berlantai semen ini, Ia dan suami serta seorang anaknya tinggal. Terkadang juga ibunya, saat warung sedang tak ada pembeli, atau ditutup karena liburmenjual.

Zakia membuka pembicaraan dengan ramah, sembari menghidangkan sepiring kudapan dan teh, lalu memulai kisahnya dengan ucapan syukur bisa selamat dari tragedi yang memilukan itu.

Meski sudah 23 tahun berlalu, Ia mengaku masih mengingat seluruh rentetannya waktu demi waktu. Ingatan ini bahkan sempat mengganggunya diawal tinggal di Kota Kendari, membuatnya phobia dengan keramaian.

Namun perempuan kelahiran Bogor, 20 September 1990 ini mengaku hal ini tetap jadi pengalaman terbaik, karena peristiwa ini menjadi jalan hijrah dari Lombok ke Kota Kendari yang masyarakatnya amat baik dalam bertoleransi.

Sejak kepindahan dulu, tidak ada yang mempermasalahkan statusnya sebagai anggota Jamaah Ahmadiyah. Ia pun bisamenyelesaikan sekolah di SMP Angkasa, dan lanjut ke SMK 3 Kendari dengan tenang.

“Disini kita mau ibadah, alhamdulilah, bisa tenang. Jualan di pasar tidak ada yang ganggu. Ada acara warga kita juga diundang. Itu kesyukuran kita. Mereka tau siapa kita. Tapi tidak pernah dipermasalahkan,” ungkap Zakia.

Hal itu berbeda semasa dirinya dan keluarga tinggal di Lombok.Sejak kecil dirinya, kerap dipersekusi dimanapun berada, bahkan saat berada di sekolah, dan berpuncak pada tragedi Pancor.

“Waktu sekolah SD, setiap kita belajar agama Islam itu kita disuruh keluar kelas, dikumpulkan sama teman yang Kristen, dan Hindu. Waktu itu saya tidak tahu apa-apa. Pulang sekolah cuma ngadu ke Ibu, dan disuruh sabar saja,” kenang Zakia.

Malam Jahanam di Desa Pancor

Lekat dalam ingatan Zakia, malam itu Rabu 11 September 2002, saat ratusan orang menyerbu tempat tinggalnya di Desa Pancor, Kecamatan Selong, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi NTB.

Malam belum begitu larut, sekitar pukul 21.00 WITA lewat, saat keheningan suasana sekitar rumah Zakia yang berada di tengah sawah berubah jadi keramaian disertai dentuman batu yang beradu dengan atap.

Caci maki dan sumpah serapah diteriakan para penyerang, sembari melemparkan batu, kayu, botol dan benda lainnya ke arah jendela, pintu, atap dan dinding dari sisi depan, samping serta belakang.

Serangan ini mengagetkan seisi rumah, Zakia yang saat itu masih berusia 11 tahun, bersama kakak, adik serta ibu dan ayah tengah berkumpul di ruang keluarga usai santap malam, bergegas berlindung ke salah satu kamar.

Listrik dipadamkan para penyerang, dan di tengah suasana gelap gulita, ramai teriakan ‘bunuh’ serta ‘bakar’ orang-orang yang menyerbu rumahnya. Zakia tiarap berdesakan di bawah tempat tidur.

Saat itu Ayahnya tidak berlindung. Ia menjaga pintu dengan badannya. Tegak berdiri, meski kaki dan kepala tergorespecahan kaca jendela, dan batu serta botol yang jatuh dari atap, menembus plafon, lalu mendarat di peci juga jari kaki.

Zakia bercerita, saat itu Ia menangis sepanjang malam, air mata keluar, tapi tak ada suara, karena mulut disumpal baju oleh ibu. Begitu juga dengan kakak, dan adik yang mulutnya dibekap ibu.

Rasa takut memuncak saat para penyerang akhirnya masuk ke dalam rumah, dan mulai menjarah barang berharga sertamemecahkan banyak barang. Zakia ingat, saat itu Ia dan kakak serta adiknya dirangkul ibu sangat erat.

“Waktu itu saya pikir, sepertinya kita bakal dibunuh. Saya takut sampai badan gemetar. Dingin tapi berkeringat. Saya lihat Ibu terus berdoa. Saya nangis terus tapi tidak ada suara,” tutur Zakia.

Ditengah ketakutan yang amat sangat, Zakia samar-samar mendengar ucapan lirih ayahnya agar semua ‘siap-siap’. Ini karena penyerang sedang menyisir seluruh ruang, artinya taklama lagi mereka akan ketahuan.

Mendengar ucapan itu, Ibu terus merapaldoa, komat kamit gerak bibir tanpa suara, Zakia semakin gemetar ketakutan. Ia pasrah dan merasa inilah akhirnya, setelah beberapa jam berjibaku dengan rasatakut.

Zakia ingat dengan jelas, orang-orang menyebut ‘ada bau manusia’ sembari menunjuk kamar yang ditempatinya. Beberapadiantaranya ada yang mencari korek dan minyak tanah.

Namun tak disangka, pertolonganTuhan benar-benar datang.Bersamaan pintu kamar satu persatu dijebol. Ramai suara ayam dari kandang di belakang rumah, mengalihkan perhatian para penyerang.

Setengah jam kemudian, suara tembakan polisi menggema di seluruh penjuru di sisi luar rumah. Polisi mengambil alih keadaan, dan membuat para penyerang mundur meninggalkan rumah yang porak-poranda.

“Pas rame kandang ayam dijarah. Mereka pada rebutan sambil teriak ‘bagi ayam’ ‘bagi ayam’ jadi sebagian orang keluar rumah. Kamar kita tidak jadi digedor. Polisi tidak lama datang,” tutur Zakia.

Malam itu dibawah perlindungan tembakan polisi, Zakia sekeluarga dievakuasi ke Markas Polres Lombok Timur. Diliputirasa takut, Zakia dan lainnya keluar lewat jendela, meniti langkah diantara pecahan kaca.

Ia tiba di Mapolres dengan baju satu-satunya sebagai harta di badan. Rasa takut yang belum hilang membuatnya terjaga semalaman. Keesokan harinya, Zakia baru menyadari pecahan kaca telahmelukai seluruh telapak kakinya.

Saat di kantor polisi ini, Zakia juga bertemu dengan banyak anggota Jamaah Ahmadiyah dari luar Pancor. Penyerangan ini rupanya tidak hanya terjadi di desanya, tapi seluruh wilayah se-Lombok Timur.

Meski berada di bawah lindungan polisi, neraka kehidupan rasanya belum usai bagi Zakia dan anggota Jamaah Ahmadiyah lainnya. Pasalnya, para penyerang ikut mengepung Polres, danmengancam akan membakarnya.

Ditempat ini, Ia kehidupan dirasakan serba sulit. Tidur berdesakan dengan ribuan warga. Makanan tidak tersedia. Iamerasakan kelaparan, karena beberapa hari tidak ada makanan sama sekali.

Di luar pagar Polres, para penyerang masih terus berdemonstrasi menyerukan kebencian dan pengusiran pengikut Ahmadiyah, bahkan lembaga sosial yang hendak membantu dicegat.

“Jadi kita makan indomie dengan air keran. Tidak ada yang berani bantu. Waktu itu ada warung makan dibakar. Merekamembantu kita makanan. Padahal pemilik warung bukan jamaah (Ahmadiyah). Cuma kasihan ke kita saja,” terang Zakia.

Kehidupan sulit ini dijalani Zakia dan warga lainnya di Mapolres selama sebulan lebih. Selama itu, waktu berjalan tanpa kejelasan seperti apa kedepannya dan akan bagaimana.

Dalam suasana itu, satu-satunya kesedihan Zakia adalah tidak bisa bersekolah. Tragedi ini sendiri terjadi tepat seminggu setelah dirinya resmi diterima di SMP di salah satu sekolah unggulan di Lombok Timur.

Peristiwa ini memupus harapan untuk kembali bersekolah di SMP tersebut. Terlebih setelah mendengar cerita kakaknya, jika para penyerang yang merusak rumahnya adalah teman, keluarga dan warga desa tetangga.

“Dua hari setelah penyerangan itu, kakak kembali rumah, dikawal polisi. Niatnya mau ambil baju ganti. Pas datang banyak orang sedang hancurkan rumah. Disitu dia liat pelakunya ternyata teman-temannya dari desa tetangga,” tutur Zakia.

Harapan untuk sekolah bagi Zakia baru datang beberapa bulan kemudian, tak lama setelah dirinya dan warga lainnyadiungsikan ke Asrama Transito di Kelurahan Majeluk, Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, NTB.

Menjelang akhir tahun 2002, Zakia dan korban tragedi Pancor yang berusia sekolah lainnya dinaikan ke Bus, yang kemudianmelaju membawa mereka ke Tasikmalaya, Jawa Barat, untuk disekolahkan.

Pagi itu sebelum keberangkatan, itulah terakhir kali Zakia melihat orang tuanya. Sekaligus sebagai pengalaman pertama hidup tanpa keduanya, berbulan-bulan lamanya tanpa komunikasi sama sekali.

“Di Tasik, kita tinggal sama orang tua asuh, trus sekolah di SMP umum, tapi sebagian siswanya anak-anak Ahmadi, jadi tidak ada masalah. Menjelang akhir tahun 2003, ayah datang jemput,waktu mau berangkat ke Kendari,” terang Zakia.

Tempat Baru, Harapan Baru

Zakia dan Nurhayati, ibunya, merupakan satu dari puluhan keluarga asal Lombok, yang juga menjadi korban kekerasan dan penyerangan Jamaah Ahmadiyah, dan kini tinggal di Sultra.

Meski dengan waktu kedatangan berbeda-beda, dan latar belakang peristiwa yang berbeda pula, namun seluruh Jamaah Ahmadiyah yang datang ke Sultra punya keinginan serupa, agar bisa beribadah dengan tenang.

Kapal yang membawa Zakia dan keluarga tiba di Pelabuhan Nusantara Kendari sekitar November 2003. Dilanjutkan dengan naik angkot, perjalanan Zakia dan keluarga berakhir di Kecamatan Baruga, Kota Kendari.

Menyusuri jalan setapak, di sebuah pemukiman di tengah rawa, disitulah Zakia dan keluarga tinggal. Disebuah rumah panggung kecil, milik anggota Jamaah Ahmadiyah yang lebih dulu tinggal diwilayah ini.

“Waktu kita tiba di rumah, kita kaget. Wah kok begini. Rumah panggung, diatas rawa. Banyak nyamuk. Ibu sempat merasa tidak sreg. Tapi dia tetap menerima, yang penting bisa ibadah tenang,dan anak-anak bisa sekolah,” ungkap Zakia.

Zakia menuturkan, atas tragedi Pancor, ibunya lah yang paling terpukul. Sebab, Ia sudah berniat membangun masa depan di Lombok. Setiap hari bekerja di Pasar Besar Pancor, berjualan, dan hasilnya ditabung.

Dari tabungan itu dibelikan tanah, dan dibangunkan rumah permanen sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun, yang tepat baru selesai seluruhnya di tahun 2002. Sayangnya, sore harirumah baru selesai di cat, malamnya dihancurkan.

Meski harus berjuang dari nol, Zakia menyebut, ayahnya, alm Rehanuddin Ahmad, begitu terpesona dengan kebaikanorang – orang disekitar tempat tinggalnya, yang bisa begitu menjunjungtoleransi.

Ia tidak pernah menyembunyikan identitasnya sebagai pengikut Ahmadiyah, tujuannya untuk mengukur resistensi warga sekitar, kalau tidak ada kecocokan, rencananya bakal segera pindah.

Ternyata selama bertahun-tahun awal mendiami wilayah ini. Tak ada penolakan, baik dalam aktifitas dakwah, hubungan social dengan warga setempat meski mereka pendatang dari NTB.

Agar dapur tetap ngebul, Ayah bekerja sebagai tukang sol sepatu, servis payung dan pekerjaan serabutan lainnya. Semua dilakukan sembari menjalankan tanggung jawabnya sebagai mubaligh.

Aktivitas dakwah tidak hanya bagi warga Jamaah Ahmadiah, tapi juga di luar jamaah, diantaranya seperti mengajar ngaji, membawakan ceramah, atau diminta membacakan doa di acara warga.

Zakia bercerita, keleluasaan dalam beribadah adalah faktor utama dirinya dan keluarga tinggal di Kota Kendari, faktor lainnya adalah kebaikan orang-orang yang menerima perbedaan dalam berkeyakinan.

“Jadi waktu awal itu kita rasa, ya lumayan berat juga. Tapi orang-orang sini baik, ayah kerja serabutan. Tapi tidak pernah nganggur. Selalu ada yang bisa dikerjakan, orang-orang selalu panggil untuk kasih kerjaan,” ujar Zakia.

Ayah Zakia sendiri telah wafat pada 2019 lalu, tepat di hari Raya Idul Fitri, saat membawakan khutbah di hadapan ratusan warga Jamaah Ahmadiyah yang memadati lapangan di sekitar rumahnya.

Sebelum wafatnya, kata Zakia, ayahnya itu berpesan untuk banyak mengabdikan dirinya bagi masyarakat di Sultra. Iamerasa ayahnya amat berterimakasih atas kebaikan banyak orang yang membantunya di masa sulit.

Zakia telah menikah di tahun 2008, dengan seorang pemuda dari kalangan Jamaah Ahmadiyah, yang juga merupakan pendatangasal Lombok, yang datang beberapa tahun silam setelah kedatangannya di kota ini.

Meski demikian, secara tersirat Zakia mengaku diminta ayahnya untuk tetap tinggal di Sultra, dan menata hidupnya sepeninggalnya kelak, dan pesan itu tetap dipegangnya hingga kini.

“Ayah pernah kasih nasihat, kita sudah maafkan orang-orang di Lombok yang menghancurkan rumah kita. Tapi kalau untuktinggal, untuk masa depan. Jangan pernah tinggalkan Sultra,” terang Zakia.

Sepeninggal ayahnya, Zakia kini menjalani hari-harinya dengan berjualan jajanan di gerai UMKM miliknya tak jauh dari Pasar Baruga. Selain itu, Ia menyibukan diri dengan beribadah.

Seperti halnya warga Jamaah Ahmadiyah asal Lombok yang datang di Sultra. Ibadah menjadi aktifitas utama, sebagai tujuan awal meninggalkan tanah kelahirannya di ‘Pulau Seribu Masjid’.

Zakia menyebut, cerita indahnya toleransi dan kebebasan beragama di Sultra sendiri, masih terus menjadi harap dan mimpi bagi warga Jamaah Ahmadiyah di Lombok hingga saat ini.

Meski demikian, masih banyak pula rekan sejawatnya yang masih bertahan disana. Umumnya karena merasa berat meninggalkan keluarga, dan harta benda, juga karena trauma.

“Kan kalau kita, tanah, kebun itu semua kita tinggal. Kalo yang lain mungkin berat. Berjuang dari nol itu juga kan juga tidak gampang. Kalau kita cukup bismillah, berangkat. danalhamdulilah di Sultra semuanya lebih baik, khususnya dalam hal ibadah,” pungkasnya.

Memijak Bumi, Menjunjung Langit

Rentang waktu 2007-2020, SETARA Institute mencatat ada 2.713 peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan(KBB) di Indonesia. Dari jumlah itu, Jamaah Ahmadiyah menjadi komunitas yang paling banyak mengalami peristiwa pelanggaran KBB, yakni 570 peristiwa.

Angka ini menandakan begitu tinggi resistensi yang dialami Jamaah Ahmadiyah secara umum di Indonesia. Meski demikian, kondisi tersebut tampaknya berbanding terbalik dengan yang ada di Sultra.

JAI Sultra mencatat, satu-satunya peristiwa pelanggaran KKB terjadi pada tahun 2006 silam, di Kecamatan Wolasi, Kabupaten Konsel. Selain peristiwa itu, hubungan antar umat beragama berjalan baik.

“Tahun 1960-an juga pernah terjadi tindakan represif, itu dialami pengurus awal JAI di Sultra, tapi itu diera orde baru, segala sesuatu memang serba represif saat itu,” ungkap Mubaligh Daerah (Mubda) JAI Wilayah Sultra Aang Kunaefi.

Menurutnya, penerimaan pengikut Jamaah Ahmadiyah saat ini, merupakan buah kerja keras para mubaligh JAI yangmengemban misi dakwah di masa awal Ahmadiyah di Sultra era tahun 60-an tersebut.

JAI sendiri berkomitmen pada dakwah yang mengajarkan perdamaian, cinta, keadilan, dan kesucian hidup, sebagai bagian dari ajaran pokok Ahmadiyah yang dipelopori Mirza Ghulam Ahmad di India pada 23 Maret 1889.

Visi gerakan dakwah yang konsisten dilakukan mubaligh JAI Wilayah Sultra ini membuat pengikut Jamaah Ahmadiyah yang disebut Ahmadi bisa diterima dan hidup berdampingan dengan umat beragama yang berbeda-beda.

Tak hanya, itu sejak dua dekade silam, ajaran Ahmadiyah juga sudah mulai diterima sebagian masyarakat lokal Sultra, meskipun dalam jumlah yang sedikit, dibanding jumlah jamaah dari para pendatang.

Berdasarkan data JAI Sultra, jumlah pengikut Ahmadiyah mencapai 1000 orang lebih dengan jumlah terbesar berdomisilidi Konsel, dan merupakan etnis pendatang asal Jawa, Jawa Barat, dan 10 persen dari warga lokal.

“Jumlah jamaah terbesar masih para pendatang. Tapi menambah jumlah pengikut bukan target kita. Gerakan dakwah kita fokus bagaimana jamaah meningkatkan kualitas keimanan dan beribadah dengan benar. Tapi kita terbuka jika ada yang ingin berdiskusi,” ungkap Aang.

Aang sendiri merupakan mubaligh yang dikirim JAI Pusat untukberdakwah, dan membina keumatan serta mengurus dan menata struktur kelembagaan JAI cabang di seluruh kabupaten dan kotase Provinsi Sultra.

Sebelum bertugas di Sultra, dirinya pernah bertugas di Manado, Gorontalo, Kuningan dan Tasikmalaya. Sebelum akhirnya ditugaskan di Kota Kendari sebagai mubaligh daerah sejak limatahun lalu.

Dari pengalamannya bertugas disejumlah daerah itu, Ia menilai jika Sultra ibarat ‘oase ditengah gurun’ dalam hal toleransi dan hubungan antar umat beragama, hubungan antar ormas keagamaan dan pemerintah.

“Toleransi masyarakat Sultra amat baik. Makanya, jamaah yang jadi korban kekerasan berharap bisa tinggal di Sultra, agar bisa beribadah dengan tenang. Tapi kami selalu tekankan yang inginkesini harus berprinsip ‘dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung’,” ungkap Aang.

Senada dengan itu, Amir Daerah JAI Wilayah Sultra, Ahmad Sewangi menyebut, sejak beberapa tahun silam, puluhan kepala keluarga warga Ahmadiyah asal Lombok penyintas kasus kekerasan memilih tinggal di Sultra.

Meski demikian, kedatangan para korban kekerasan dan pelanggaran KKB ini tidak sekaligus, terjadi secara bengangsur-angsur, atas koordinasi dengan JAI Pusat yang berkedudukan diParung, Bogor, Jawa  Barat.

“Tidak serta merta datang. Kita pastikan tempat sesuai keahlian.Kalau dia petani, kita titip di daerah pertanian, kalau pedagang kita berikan tempat yang sesuai. Agar bisa membangunekonominya sendiri,” terang Ustad Ahmad.

Diungkapkannya, hubungan serta toleransi antar umat beragama yang begitu baik di daerah ini, membuat JAI Sultra berperan penting dalam menghadirkan resolusi konflik, khususnya bagijamaah korban kekerasan.

Tidak hanya itu, Sultra juga menjadi semacam ‘harapan’ bagi pengikut Jamaah Ahmadiyah di Indonesia, untuk bisa menjalankan ibadah dengan tenang tanpa gangguan, ancaman dan rasa was-was.

“Meraka orang-orang yang kehilangan harta benda.Keinginannya sederhana, hanya ingin beribadah dengan tenang, sesuai akidah dan pemahamannya. Harapan itu nanti barutumbuh setelah tiba di Sultra,” ujar Ahmad.

Hal ini jualah yang diungkapkan Ustad Muhyi, seorang mubaligh muda JAI, yang sejak tahun 2022 lalu bertugas diKabupaten Konawe, sebagai penugasan perdana usai menyelesaikan pendidikan.

Muhyi adalah penyintas kasus kekerasan Jamaah Ahmadiyah di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, KabupatenLombok Barat, NTB pada tahun 2006, yang berujung perusakan, pembakaran dan pengusiran warga dari kampungnya.

Dalam peristiwa tersebut sedikitnya 132 orang warga Ahmadiyah terpaksa mengungsi ke Asrama Transito, di Majeluk, Kota Mataram, NTB, dan masih bertahan hingga saat ini setelah 19 tahun pasca kejadian.

Asrama Transito sendiri awalnya adalah tempat penampungan transmigran asal Jawa. Pasca rentetan konflik, bangunan seluas setengah hektar ini difungsikan sebagai pengungsian bagi Jamaah Ahmadiyah.

Muhyi bercerita, ditempat yang sempit dan penuh sesak inilah, bapak, ibu, dua orang adik, dan seorang kakaknya tinggal berdesakan dengan ratusan jamaah korban kekerasan dari berbagai wilayahdi NTB.

Kondisi bagunan tidak layak, jauhdari rasa kemanusiaan serta aksi perundungan yang tidak menyurut dari warga sekitar hingga saat ini, menjadi alasan dirinya ingin memboyong keluarga meninggalkan tanah kelahirannya itu.

“Sebenarnya kami ada keinginan untuk keluar dari transito, tapi kami bertahan disana untuk melihat bagaimana pemerintah bertanggung jawab untuk menyelesaikan kasus di pengungsian,” ujar Muhyi.

Kelompok Intoleran Jadi Tantangan

Antropolog Universitas Halu Oleo (UHO) Danial menilai, sisi penting dari eksistensi gerakan dakwah Jemaat Ahmadiyah diSultra, berada pada bauran secara kultural dengan masyarakat lokal.

Hal itu didukung budaya hubunganmasyarakat etnis asli Sultra yang secara kultural merupakan kelompok masyarakat terbuka dan berjiwa sosial tinggi, baik masyarakat di tinggal daratan maupun kepulauan.

Budaya inilah juga yang menjadi faktor penting kesuksesan program transmigrasi era Orde Baru yang dilaksanakan sejaktahun 50-an, baik di daratan seperti Konsel, Kolaka, juga di kepulauan seperti Buton,Muna dan pulau lainnya.

Hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat asli Sultra dan pendatang itu esensinya ada pada hubungan kultural. Hal ini bersesuaian dengan misi dakwah Jamaah Ahmadiyah, yang turut menyerap nilai kultural masyarakat lokal.

“Orang Bali, Jawa, Sunda, maupun etnis lain bisa hidup berdampingan dengan masyarakat lokal. Karena misalnya di Buton ada tradisi haroa atau baca-baca doa. Mereka diundang, datang duduk bersama, tidak ada pertentangan,” ujar Dani.

Kondisi bisa menjelaskan, bagaimana eksistensi gerakan dakwah Jamaah Ahmadiyah bisa diterima masyarakat lokal, yang disebabkan karena tidak adanya pertentangan dengan nilai tradisi lokal yang ada.

“Muslim di Sultra adalah masyarakatyang Islam religius kultural yang kuat. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Ketika dua hal ini dihargai para pendatang. Maka, tentu akan mudah diterima warga lokal,” ungkap Dani.

Menurutnya, hal itu berbeda dengan gerakan dakwah yang dianut kelompok Wahabi, yang baru sekitar dua dekade hadir di Bumi Anoa. Dimana gerakan dakwah kelompok ini cukup resisten dengan masyarakat lokal.

Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UHO ini menilai, kelompok inilah yang menjadi tantangan kedepan, bukan hanya bagi pengikut Jamaah Ahmadiyah, tapi juga Syiah dan ajaran lainnya termasuk penghayat kepercayaan.

Karena jejak intolerasi kelompok ini sudah terlihat, salah satunya misalnya ditunjukan pada aksi pembubaran paksaPerayaan Asyura yang dilakukan pengikut Syiah di Kota Kendari pada 2016 lalu.

“Jadi kalo diliat secara kultural, saya kira tidak akan ada masalah, karena Jamaah Ahmadiyah terbukti bisa membaur dalam tradisi masyarakat lokal. Tapi kelompok intoleran ini kedepannya yang jadi tantangan,” ungkap Dani.

Reporter: Taufik Qurahman

Editor: Taufik Qurahman

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan ikuti WhatsApp channel portal.id