Jakarta, Portal.id – Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melakukan monitoring dan evaluasi (Monev) percepatan penurunan stunting di wilayah dengan kategori pesisir, perbatasan, dan rawan pangan, Kamis (21/09/2023) lalu.
Kegiatan itu untuk memantau implementasi tujuh kegiatan dan 16 indikator tematik yang menjadi tanggung jawab BKKBN pada indikator yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting dan Peraturan BKKBN No 12 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Stunting (RAN Pasti) pada wilayah pesisir, perbatasan dan rawan pangan (P2R).
Implementasi tujuh kegiatan meliputi kampanye PPS 3 (tiga) kanal setiap bulan, Dapur Sehat Atasi Stunting (Dashat), peran Tim Pendamping Keluarga (TPK) dalam pendampingan, audit kasus stunting siklus 1 (siklus 2 belum terlaksana di 3 wilayah P2R), keluarga dengan balita yang mendapatkan fasilitas dan pembinaan 1000HPK, PIK-R dan BKR, dan pendampingan ibu pascasalin.
Pemantauan dan Evaluasi dilaksanakan pada Juni hingga Juli 2023 di 3 (tiga) wilayah, yaitu Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Rokan Hulu yang masing-masing mewakili wilayah pesisir, perbatasan dan rawan pangan di Indonesia.
Kepala BKKBN Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) dalam.kegiatan tersebut mengatakan masing-masing daerah memiliki permasalahan masing-masing, terutama ketiga wilayah ini memiliki permasalahan yang sangat spesifik.
“Seperti di wilayah Kalimantan Barat, belum lama ini saya berkunjung kesana, kita lihat angka stuntingnya Kabupaten Sambar cukup tinggi, kemudian di sana permasalahan yang spesifik di lihat dari pembangunan IPMnya, pendidikannya rata rata 6,3 tahun jadi level of thinking dan juga bagaimana pola pikir mindset masyarakat baik terkait dengan masalah lingkungan masalah reproduksi dan masalah gizi saya yakin masih butuh banyak sosialisasi dan edukasi yang lebih baik. Kita harus menempatkan faktor ini menjadi bagian yang penting karena kita tahu tidak bisa tentu one size fit for all,” kata Dokter Hasto.
Menurut Dokter Hasto, di Kabupaten Sambas juga banyak pekerja pekerja yang merantau sehingga anaknya banyak di tinggalkan,ini juga menjadi masalah khusus daerah perbatasan, banyak sekali mereka yang tertarik untuk berkerja di negara sebelah yang kemudian harus meninggalkan anak.
“Kondisi ini tentu membutuhkan satu treatment yang spesifik sehingga dalam bahasa kita harus ada drug of choice yang mana kita memilih treatment yang sangat relevan dengan masalah yang ada”, ujarnya dalam acara Hasil Monev Stunting Terpadu Berbasis Wilayah P2R pada Kamis (21/09).
“Begitu juga kalau kita lihat di Provinsi NTB dimana kalau di ukur dari Badan Pangan Nasional terkait konsumsi masalah protein ada masalah ketimpangan, dimana NTB konsumsi protein cukup tinggi akan tetapi kenapa stuntingnya tinggi, ini juga perlu di cari apa dibalik masalah determining faktor di masing-masing wilayah,” ujar Dokter Hasto.
Adapun wilayah rawan pangan, kondisi yang mempengaruhi rawan pangan adalah masalah kekeringan.
“Kalau kita lihat di daerah daerah yang kekeringan itu yang naik pertama kali untuk pangan adalah justru harga karbohidratnya, dalam hal ini kalo kita cermati maka harga beras itu meningkat lebih dulu dari pada yang lain-lain. Oleh karnanya saya juga mohon di dalam evaluasi monev stunting di daerah rawan pangan dan perbatasan ini bagaiamana hubungan dengan masalah kekeringan kemudian harga beras yang meningkat apakah ini menjadi suatu ancaman? Karna sebetulnya juga agak optimistis karna kalau yang meningkat hanya beras maka bisa di substitusi dengan pangan yang lain sebagai pengganti beras, seperti dengan jagung ataupun dengan sagu atau dengan singkong dan lainnya, akan tetapi saya yakin tim dari monev stunting di perbatasan dan rawan pangan ini akan lebih jeli lagi, apakah benar bahwa yang terpengaruh yang naik hanya dalam bentuk karbohidrat (beras), apakah yang lainnya tidak terpengaruh terutama telur kemudian juga ikan tentu yang kita harapkan sangat menopang untuk asupan protein hewan,” ujar Dokter Hasto.
Dari data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi stunting di Provinsi Kalimantan Barat sendiri mengalami penurunan sebesar 2% dari 29,8% pada 2021 menjadi 27,8% pada 2022.
Provinsi NTB merupakan provinsi prioritas penanganan stunting, prevalensi stunting di Provinsi NTB naik dari 31,4% pada 2021 menjadi 32,7% pada 2022.
Sedangkan prevalensi stunting di Provinsi Riau turun sebesar 5,3% dari 22,3% pada 2021 menjadi 17% di tahun berikutnya.
”Monev terpadu berbasis wilayah pesisir perbatasan dan juga rawan pangan itu bisa memberikan rekomendasi yang spesifik dan deskriptif terkait dengan determining faktor di masing masing wilayah. Tanpa adanya rekomendasi yang spesifik dan deskriptif terkait dengan determining faktor di satu wilayah maka monev yang ada di perbatasan dan pesisir rawan pangan itu tentu belum selesai karna tujuan monev memberikan rekomendasi seperti yang kami harapkan,” ujar dia.
“Ini penting sekali supaya kita dalam mengambil suatu policybrief kedepan itu tidak salah, tidak hanya karena pengaruh oleh hasil yang meyakinkan dari satu sudut pandang akan tetapi juga kita bisa melihat secara lebih luas,” lanjut Dokter Hasto.