Baubau, Portal.id – Masih ingat dengan kasus dugaan rudapaksa yang dilakukan oleh seorang pemuda di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Sultra) berinisial AP terhadap dua adik kandungnya.
Penetapan status tersangka terhadap AP dinilai memiliki kejanggalan. Hal itu disampaikan oleh Kuasa Hukum kedua korban, Safrin Salam. Menurutnya penetapan AP sebagai tersangka tidak sesuai dengan keterangan para korban.
Kata Safrin, dalam pemeriksaan kedua korban justru menyampaikan bahwa yang melakukan pelecehan adalah pemilik perumahan tempat mereka tinggal, dan beberapa kuli bangunan.
Namun, dalam penyampaian resmi Kasat Reksrim Polres Baubau, AKP Najmuddin secara tertulis justru menyatakan bahwa pelaku pelecehan itu adalah AP yang tidak lain adalah kakak korban.
Kemudian, penyampain polisi bahwa aksi nekat pelaku merudapaksa kedua adiknya karena keseringan nonton video porno juga dinilai mengada-ada.
Uraian kronologis kejadiannya pun dikatakan tidak sesuai keterangan kedua korban. Keduanya menyebut bahwa pelaku lebih dari satu orang itu dan bukan kakak mereka.
Safrin menerangkan, uraian kronologis dimana saat para pelaku melakukan pelecehan pertama kepada korban yang berusia 4 tahun, di sebuah rumah kosong dengan rumah korban. Sedangkan korban kedua dirudapaksa di salah satu kamar di rumahnya dalam kondisi tidak sadarkan diri, usai menghirup asap dari botol milik pelaku.
“Selaku kuasa hukum korban, kronologi polisi menurut saya sangat direkayasa. Korban tidak pernah menyebut kakaknya jadi pelaku. Faktanya, pelaku sebenarnya melakukan bius dan menyuntik korban kemudian melakukan kekerasan seksual secara fisik,” tutur Safrin melalui keterangan resminya yang diterima awak media, Jumat (3/3/2023).
Lanjut Safrin, kejanggalan lain adalah tidak dijelaskannya bahwa dalam hasil visum memang benar bahwa ada bekas luka suntikan di tangan sebelah kanan korban.
Dari fakta-fakta tersebut, Safrin menilai bahwa kasus ini memiliki kejanggalan dalam penanganan kasusnya. Pasalnya, penyidik mengabaikan keterangan korban.
Sementara itu Ahli Hukum Pidana, Ramadan Tabiu yang dikonfirmasi terpisah awak media menerangkan, proses hukum penanganan perkara kekerasan seksual keterangan korban harus dijadikan sebagai salah satu alat bukti. Hal itu sesuai UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Papar Ramadan, dalam UU TPKS dijelaskan bahwa terdapat perluasan dalam memperoleh alat bukti dan itu diatur dalam KUHP, diantaranya keterangan korban. UU ini mutlak menjadi dasar rujukan hukum acara untuk menyelesaikan seluruh bentuk kasus kekerasan seksual.
“Meskipu hukum pidana materilnya menggunakan UU lain , hukum acaranya tetap tunduk dan patuh terhadap UU TPKS. Sebelum diundangkannya UU TPKS itu rezim hukum acaranya pasti tunduk dan patuh pada KUHP, meskipun tindak pidana kekerasan seksual,” papar Ramadan.
Lebih lanjut Ramadan menjelaskan, setelah diundangkannya UU TPKS maka hukum acara yang berlaku harus tunduk pada UU TPKS,
“Karena berlaku doktrin hukum blanco strafbepalingen” jelasnya.
Dengan demikian, terdapat masalah hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual jika keterangan korban diabaikan dengan tindak menjadikannya alat bukti.
Dugaan Adanya Paksaan agar AP Mengaku sebagai Pelaku
Banyaknya kejanggalan demi kejanggalan dalam penanganan kasus rudapaksa ini menimbulkan sebuah dugaan, bahwa AP yang merupakan kakak kedua korban dipaksa oleh tim penyidik untuk mengaku sebagai pelaku.
Pernyataan itu disampaikan oleh Kuasa Hukum AP, Muhammad Sutri Mansyah. Pertama, pernyataan penyidik yang mengatakan bahwa pelaku melakukan pelecehan akibat dari kebiasaannya menonton video porno sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Padahal dimasa itu AP belum memiliki handphone. Sehingga menurutnya keterangan polisi tak berdasar.
Dia mengungkapkan, AP baru memilki handphone beberapa tahun belakangan. Itu pun handphone tersebut tidak sengaja dia temukan di pasar tempat sehari-hari dia berdagang sayur bersama ibunya.
“Itu bukan handphone miliknya (AP). Dia tidak sengaja dapat di pasar. Waktu SMP, dia belum punya handphone. Pernyataan polisi itu harus diperjelas, pakai apa AL menonton video porno,” ujar Sutri.
Sutri membeberkan, AP mengaku mendapat tekanan dan ancaman dari penyidik saat menjalani pemeriksaan. Namun, bentuk ancamannya seperti apa Sutri masih akan mendalami.
Ancaman itu juga AP sampaikan kepada ibunya. Dia diintimidasi dan dipaksa oleh seorang oknum penyidik untuk mengaku sebagai pelaku.
“Dia dipaksa mengaku, kalau tidak dia akan dipukul katanya. AP juga mengaku kalau pipinya sudah ditempelkan tangan oleh polisi,” pungkas Sutri.
Laporan: Ferito Julyadi